Pengantar Umum Berpikir Kritis

Di era digital dan teknologi mutakhir, kecepatan mengakses data dan inforamsi merupakan salah satu keunggulan yang dirasakan kita bersama. Kebebasan dan kemudahan mengambil dan mengirimkan data dan informasi pun semakin terbuka luas. Namun dibalik dampak yang terlihat baik dan mendunia tersebut, ada dampak negative yang turut tumbuh bersamaan dengan kemajuan-kemajuan tersebut. Generasi yang paling dikhawatirkan terexpose oleh bahaya peredaran informasi lepas bebas ini adalah anak-anak usia sekolah hingga remaja akhir. Selain karena belum adanya system pengamanan IT yang cukup mereka kuasai, kecenderungan anak yang mudah menyerap hal-hal yang negative lebih cepat dan bertahan lama. Untuk itu sangat diperlukan suatu kemampuan yang memampukan anak-anak ini untuk memiliki system auto-filter atau self-filtering terhadap informasi yang beredar. Suatu system yang terancang dan tertanam dalam diri anak untuk dapat menentukan dan menetapkan informasi yang hanya bermanfaat bagi dirinya. Suatu system yang dapat memampukan anak untuk membedakan apa yang benar dan yang tidak benar dari suatu informasi yang tersaji dihadapannya. Sehingga dengan kemampuan ini anak dapat melindungi dirinya sendiri dari informasi-informasi yang berbahaya. Selain itu, dengan kemampuan tersebut, anak juga terlatih untuk mengambil keputusan yang tepat dalam kehidupan sehari-hari dan khususnya dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah yang menuntut pemecahan masalah atau pengambilan keputusan. Para pakar psikologi khususnya psikologi pendidikan menyebut kemampuan ini dengan istilah critical thinking skill atau kemampuan berpikir kritis.

Bahkan dalam P21 (Partnership for 21st Century Learning)[1], menekankan bahwa berpikir kritis (critical thinking skill) dan pemecahan masalah (problem solving) merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki dan dipelajari di sekolah dalam rangka menghadapi globalisasi. Lebih dalam dijelaskan bahwa berpikir kritis merupakan suatu kecakapan hidup yang memampukan anak untuk menjadi warga negara dan sumberdaya manusia yang berhasil di era ini. sebab kemampuan berpikir kritis dapat membantu siswa untuk menguji persoalan-persoalan yang dihadapinya. Membantu atau memampukan mereka untuk melihat dan memilih pemecahan masalah yang logis, akurat, dan berguna, tidak hanya dilingkungan sekolah, tetapi juga di kesehariannya. Dalam hal ini, berpikir kritis juga dapat dikatakan sebagai tingkat sensitifitas moral seseorang, dengan kata lain bahwa kita dapat membangun dan mengembangkan kebiasaan yang benar dengan menggunakan pemikiran yang jernih dalam menyelesaikan masalah yang sekalipun penuh dengan tekanan. Oleh karenanya, para tokoh psikologi pendidikan meyakini bahwa berpikir kritis merupakan salah satu skill atau kecakapan hidup yang penting untuk dilatih dan digunakan dalam setiap aspek kehidupan kita.

Berpikir kritis bukanlah produk yang dihasilkan semata-mata dari kebebasan bertanya atau mengkritisi orang lain, melainkan kemampuan yang diperoleh dengan mengasah diri sendiri terhadap pertanyaan yang akan diajukan itu sendiri. Individu perlu mempertanyakan kelayakan atau kebermanfaatan dari petanyaan yang dimunculkannya. Hal ini dapat menjadi suatu hal sederhana apabila individu telah terbiasa untuk mencari lalu menggunakan informasi yang menurutnya bermanfaat dalam penyelesain masalah.

Dengan kata lain, berpikir kritis bukanlah suatu tindakan yang mempertanyakan segala sesuatunya kepada lingkungan atau orang sekitanya, melainkan mempertanyakan apa yang ada di lingkungannya untuk ia jawab atau ia pecahkan sendiri dengan prinsip-prinsip dan kemandirian dan keaktifan menggali masalah dan informasi benar sebagaimana yang ia perlukan. Keaktifan yang dimaksud disini lebih kepada suatu proses langsung yang dilakukan diri sendiri, memunculkan pertanyaan sendiri, mencari informasi yang relevan sendiri, self-discipline untuk memonitor diri sendiri; dan bukanlah suatu proses atau pembelajaran pasif yang didapat dari orang lain. Sedangkan makna ‘terus-menerus’ dan ‘kehati-hatian’ ialah kita terikat pada suatu waktu tertentu sebelum membuat kesimpulan atau keputusan terhadap permasalahan yang ada.

Satu hal yang perlu diperhatikan disini, berpikir kritis bukanlah perihal semata-mata mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Berpikir kritis juga sama sekali bukan soal menghafal atau mengetahui sebanyak-banyaknya pengetahuan umum. Salah satu pakar Psikologi yang juga tokoh berpikir kritis, John Dewey, menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah suatu tindakan refleksi, aktif, serta terus menerus; suatu pertimbangan yang penuh kehati-hatian dalam menetapkan suatu kebenaran yang memang didasari oleh bukti kuat yang mendukungnya dalam menyimpulkan suatu keyakinan atau pengetahuan yang ada (Fisher, 2001).

Karakteristik berpikir kritis

Jadi bagaimanakah sesungguhnya karakteristik berpikir kritis? Seseorang yang dikatakan berpikir kritis memiliki karakter khusus yang dapat diidentifikasi dengan melihat bagaimana ia menyikapi suatu masalah. Argumen atau informasi yang dipakainya akan tampak pada kebiasaan bertindaknya. Perlu ditekankan bahwa argument merupakan kegiatan yang memanfaatkan intelekutual dan pengetahuannya, baik yang telah dimilikinya maupun pengetahuan yang ingin dikuasainya.

Beberapa pakar berpikir kritis menyebutkan sejumlah karakater yang mewakili berpikir kritis yang sekaligus juga membantu kita dalam mengartikan kemampuan yang satu ini. Facione[2] menyebutkan ada enam kecakapan utama yang terlibat di dalam proses berpikir kritis. Kecakapan-kecakapan tersebut adalah interpretasi, analisis, evaluasi, inference, penjelasan dan regulasi diri.

  1. Interpretasi, adalah memahami dan mengekspresikan makna atau signifikan dari berbagai macam pengalaman, situasi, data, kejadian-kejadian, penilaian, kebiasaan atau adat, kepercayaan-kepercayaan, aturan-aturan, prosedur atau kriteria-kriteria.
  2. Analisis, adalah mengidentifikasi hubungan-hubungan inferensional yang dimaksud dan aktual diantara pernyataan-pernyataan, pertanyaanpertanyaan, konsep-konsep, deskripsi-deskripsi.
  3. Evaluasi, adalah menaksir kredibilitas pernyataan-pernyataan atau representasi-representasi yang merupakan laporan-laporan atau deskripsi-deskripsi dari persepsi, pengalaman, penilaian, opini dan menaksir kekuatan logis dari hubungan-hubungan inferensional atau dimaksud diantara pernyataan-pernyataan, deskripsi-deskripsi, pertanyaan-pertanyaan atau bentuk-bentuk representasi lainnya.
  4. Inference, mengidentifikasi dan memperoleh unsur-unsur yang masuk akal, membuat dugaan-dugaan dan hipotesis, dan menyimpulkan konsekuensikonsekuensi dari data.
  5. Penjelasan, mampu menyatakan hasil-hasil dari penjelasan seseorang, mempresentasikan penalaran seseorang dalam bentuk argumen-argumen yang kuat.
  6. Regulasi diri, berarti secara sadar diri memantau kegiatan-kegiatan kognitif seseorang, unsur-unsur yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan tersebut dan hasil-hasil yang diperoleh, terutama dengan menerapkan kecakapankecakapan di dalam analisis dan evaluasi untuk penelitian penilaian inferensial sendiri dengan memandang pada pertanyaan, konfirmasi, validitas atau mengoreksi baik penalarannya atau hasil-hasilnya.

Pada artikel berikutnya, kita akan membahas bagaimana menumbuhkan kemampuan ini pada anak, pada usia berapa kemampuan ini dapat dilatikan pada anak, dan faktor-faktor apa saja yang mendukung tumbuh kembangnya kemampuan ini di lingkungan sekolah dan lingkungan sosial anak.

Penulis : Tio Rosalina
Pengantar Umum Berpikir Kritis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke Atas